Writing Something






BURUNG gereja mulai berkicau di pagi hari sembari bertengger di atas kabel listrik di depan rumah dan tampak jelas kala jendela kamarku terbuka. Kulihat segerombolan gumpalan kapas yang menggelayuti cakrawala mulai berarak bersama pendaran kebiruan langit cerah. Penduduk dari mana saja mulai berlalu-lalang menggunakan kendaraannya atau berjalan kaki sambil olahraga pagi. 

   Di sinilah aku pada pagi hari, berbaring di atas kasur tanpa memikirkan tugas mata kuliah apa yang harus aku selesaikan sebelum deadline menghampiri. Menggeser meja kecil terbuat dari kayu dengan permukaan mengkilat, menaruh laptop di atasnya lalu menghidupkan layar menyilaukan itu. 

    Ada satu ritual yang tak boleh dilewatkan—membuat minuman sebagai teman berimajinasi. Entah itu secangkir cokelat dingin atau secangkir kopi dingin tapi sayangnya minuman itu sudah habis lebih dulu sebelum mengetik selesai. Tak pernah ketinggalan memutar musik menggunakan earphone, lagu-lagu galau menjadi inspirasiku untuk menulis sekaligus semangat untuk terus berkarya. Kembali lagi kuabsen satu per satu; earphone? Check! Laptop? Check! Secangir kopi? Check!

   Ini saatnya aku berkonsentrasi dengan imajinasiku, jari-jemariku sudah diregangkan, menatap layar desktop yang terlalu cerah. Membiarkan otakku bekerja dengan hati, berbagi pendapat berbagi cerita berbagi merangkai kata. Bibir terkatup rapat dan jari-jariku mulai menari-nari di atas tuts keyboard bersamaan dengan imajinasiku yang terus bermain panggung sandiwara di kanvas putih digital seolah lupa akan daratan lupa akan kehidupan sendiri sebab tak melihat waktu yang terus berjalan dan masih duduk di depan laptop seperti orang kesurupan—kesurupan imajinasi yang terus merengek untuk diketik. 

 Bagiku menulis adalah kegiatan penghilang rasa sedih yang selama ini terus menggunung tanpa henti. Kanvas digital menjadi tempat pelarianku dari kehidupan yang menyesakan. Maka aku membiarkan imaji ini membawa; melarutkan; membenamkan diriku pada kebahagiaan yang semu untuk sebuah kepuasan batin. Mungkin ada di antara kalian yang juga sama denganku? Menulis adalah pelarian dari rasa kecewa pada dunia. 

  Aku tidak pernah menyesali apa yang sudah kutulis malahan aku merasa puas luar biasa lalu berterima kasih pada Tuhan sebab memberikan aku sebuah ilham untuk menulis dengan lancar. 

   Untuk Tuhan aku berterima kasih dengan hobi menulis ini. Aku merasa bahagia sekali dengan adanya hobi ini, merasa duniaku lebih berwarna di antara gelapnya dunia. 

"Menulis adalah bentuk pelarianku dari rasa kecewa terhadap dunia " —meeputri





Komentar